Sebenernya tulisan ini gue bikin karena desakan dari pihak yang terdesak oleh tugas sekolah yaitu adik gue sendiri.
Adik : Mas, bisa bikinin cerpen ga?
Gue : Cerpen apaan
Adik : Cerpen, cerita pendek masa ga tau
Gue : Yaelah gue juga tau kali cerpen itu akronim dari cerita pendek, cretmen itu akronim dari ampas encer
Adik : Apaan, mana ada cretmen
Gue : Ada lah kalo orang masuk angin pasti ampas nya encer nah itu namanya cretmen
Adik : Dih jorok banget sih
Gue : Sabodo amat
Adik : Plis mas, bikinin cerpen soalnya ini tugas dari sekolah
Gue : Males ah, kamu bikin aja sendiri (bukan gue ga mau bantu bikin cerpen, walaupun gue kasihan juga sih liat adik gue memelas gitu, tapi gue mikir itu kan tugas sekolah dia, ya harus nya dia sendiri yg ngerjain, setidaknya itu nilai moral yg masih gue pegang dan tidak akan tergoyahkan oleh apapun)
Adik : Bikinin sih mas nanti dibayar 50.000
Gue : Ok Deal!!!
Cinta Segitiga Masa SMA
“Kalo kamu masih nganggep aku sahabat, kamu duduk sini.” Seakan bisa merasakan amarah dalam nada bicaraku, Rivanti pun langsung duduk. Tak berapa lama Silvi terlihat keluar dari kelasnya, dengan sedikit keras aku memanggil sambil melambaikan tangan memberi tanda agar Silvi mendatangi tempat kami berdua.
Khusnul Aulia Zahrotiah, sedari lahir aku sudah menyandang nama tersebut nama yang diberikan oleh kedua orang tua ku tercinta, tentunya dengan nama seindah itu mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi wanita yang cantik, baik dan juga pintar. Mamah dan Papah maafkan anakmu yang setelah dewasa tidak bisa mewujudkan harapan kalian. Bukan salah aku kalau kecantikan yang ada semenjak lahir ternyata berhenti sampai masa balita, dan tidak berlanjut hingga saat ini aku menginjak masa SMA.
SMAN 2 Kota Serang, gedung sekolah bergaya arsitektur khas Indonesia, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon rindang, dan juga jalan menanjak yang dimulai dari gerbang berwarna hitam, sehingga membuat setiap orang sedikit terengah untuk sampai ke dalam lingkungan kelas, di Sekolah ini tempat aku menuntut ilmu. Memang aku bukan termasuk murid yang pintar, dan tentunya Kepala Sekolah tidak mungkin memilih aku sebagai perwakilan dalam lomba cerdas cermat. Papah, Mamah, maafkan anakmu ini, lagi-lagi harapan kalian memiliki anak yang pintar tidak terwujud, walaupun aku tidak pintar aku juga tidak bodoh-bodoh amat, aku masih tau kalau Cave Fish (Ikan Goa) merupakan hewan yang tidak bisa melihat, dan masih satu famili dengan Ikan Tuna yang termasuk kelompok spesies Tuna Netra.
Di sekolah aku tidak terlalu memiliki banyak teman, mempunyai dua sahabat yang sangat aku sayang, sudah sangat cukup. Aku sangat bersyukur karena terkadang memiliki banyak teman tidak lebih menyenangkan apalagi berteman hanya sebatas kenal dan sekedar basa-basi semata. Aku lebih suka memiliki hubungan pertemanan yang penuh kasih sayang, dan selalu ada di saat sedih maupun bahagia dan itu semua bisa aku dapatkan dari Rivanti dan Silvi.
“Kenalin nama gue Silvi.” Ujarnya tanpa memperdulikan orang dihapannya mau berkenalan atau tidak.
“Eh, maaf kenapa ya?.”
“Loe anak baru kan, belum punya temen di sini kan, nama gue Silvi paling seneng selfi cantik alami tanpa aplikasi, Hahaha.”
“Ia nama aku Khusnul.” Sambil terkekeh dan menyambut tangan yang sedari tadi tergantung untuk bersalaman.
“Ayo kita ke kantin biar gue traktir, itung-itung sambutan selamat datang.”
Dengan perasaan bingung dan kaget aku pun mengikuti jalannya, karena sedari bersalaman tadi Silvi langsung menarik tanganku dan digenggam dengan erat, sehingga aku tidak sempat menolak ajakannya, bukan karena aku tidak suka dengan sikapnya tapi memang saat itu aku sedang puasa Sunnah Senin-Kamis. Itulah saat pertama kali aku berkenalan dengan Silvi, yang kalau dipikir-pikir kembali kok dia bisa tau kalau aku anak baru, padahal saat itu kan kita sama-sama anak baru di SMAN 2 Kota Serang, tetapi bisa dibilang aku anak yang lebih baru dari anak baru, yang membedakan, aku tidak mengikuti proses pengenalan lingkungan sekolah atau kalau dulu sih biasa disebut OSPEK.
Aku memang tidak seperti kebanyakan murid SMAN 2 yang melanjutkan pendidikan dari jalur SMP, karena memang aku menyelesaikan tingkat menengah pertamaku di lembaga pendidikan berbasis Islami atau biasa disebut Pesantren. Memang sudah menjadi keinginan aku setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar aku ingin melanjutkannya ke Pesantren. Aku memang lahir dikeluarga yang boleh dibilang kental nuansa Islami, tetapi bukan itu alasanku memilih pesantren sebagai tujuan setelah lulus dari Sekolah Dasar. Sebenarnya aku juga tidak bisa menjawab alasan pasti kenapa aku memilih pesantren, mungkin karena seringnya aku melihat kehidupan pesantren disaat menjenguk kakakku, yang memang sudah lebih dulu bersekolah di pesantren, menimbulkan keinginanku memilih pendidikan pesantren. Wallahu a’lam.
Seperti biasa setelah bel tanda istirahat berbunyi, aku tetap duduk di bangku barisan ketiga dari depan, dengan dinding berwarna abu-abu yang apabila matahari bersinar sangat panas aku biasa menempelkan pipiku, sekedar untuk mendapatkan sensasi rasa dingin sedikit bisa mengurangi udara panas yang mengisi ruang kelasku saat ini. Teman-teman sekelas memang sudah tau kebiasaanku setiap hari Senin dan Kamis aku jarang meninggalkan kelas setelah bel istirahat berbunyi, aku tidak akan menuju ke kantin untuk memilih jajanan apa yang harus aku makan hari ini, karena aku melakukan puasa sunnah. Terkadang aku juga menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan untuk menghabiskan waktu menunggu jam pelajaran selanjutnya dimulai, memang disana lebih terasa nyaman, ruangan luas dengan jajaran buku yang tersusun rapih, dan pendingin udara yang selalu menyala seakan siap sedia memberikan rasa sejuk bagi setiap orang yang datang. Entah kenapa hari itu terasa malas sekali buat meninggalkan tempat duduk dan lebih memilih memejamkan mata dan menempelkan pipi pada dinding kelas.
“Heh Nul, mau sekalian gue bawain kasur ama bantal biar makin nyenyak tidur loe.” Akupun sedikit kaget sambil membuka mata untuk mencari tau dari mana suara itu berasal.
“Dasar kamu Vi ngagetin orang aja.”
“Lagian yang lain pada istirahat, eh ini malah tidur sendirian di kelas, ngimpiin hantu sekolah baru tau rasa loe.” Sambil memposisikan diri dan bersiap duduk di bangku yang ada disebelahku.
“Biarin aja Weekz, kalo hantunya ganteng, dan ga nyakitin aku kaya si dia mah ga papa.” Terkekeh sambil menjulurkan sedikit lidah ke Silvi.
“Yaelah dia malah curcol.” Sambil menyadarkan kepala pada tangannya yang terlipat diatas meja.
“Rivanti mana? Kok ga diajak bareng kesini.” Kembali menempelkan pipi ke dinding
Kelas.
“Mana gue tau, emang gue babysitter nya.” Ujarnya dengan nada acuh dan sedikit ada kebencian.
“Loh kok sewot gitu, emang kalian kenapa sih?.” Aku pun menunjukkan raut muka bingung dan berharap dapat penjelasan dari Silvi.
“Udahlah lagi males bahas dia, gue ikut tidur di kelas loe juga ya.” Menutup mata berpura-pura tidur.
Akupun masih melamun sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi dengan dua sahabat tersayangku, sampai bunyi bel tanda pelajaran selanjutnya dimulai menyadarkan lamunanku, orang di sebelahku pun juga bukan Silvi lagi, karena dia sudah kembali ke kelasnya sedari tadi.
Rivanti dan Silvi memang dua sahabat terdekatku, kalau boleh dibilang mereka sudah seperti saudara bagiku. Pernah suatu kali karena kegiatan yang aku lakukan pada minggu itu sangat padat, dalam rangka mempersiapkan acara HUT Indonesia di lingkungan tempatku tinggal sampai aku lupa kalau hari itu jadwal “tamu bulanan” datang.
“Aduh gawat, gimana nih.” Sambil beranjak dari tempat duduk kantin dan bergegas menuju toilet.
“Khusnul tungguin, kamu kenapa sih?.” Rivanti berlari kecil berusaha mengejar aku yang sudah hampir masuk ke dalam toilet.
“Gawat kenapa sih? Main kabur gitu aja.” Aku menangkap segurat keresahan pada wajah Rivanti.
“Hari ini jadwal aku datang bulan, dan aku lupa bawa celana ganti.” Akupun masih bingung harus bagaimana, karena tidak mungkin kembali ke kelas dengan celana dalam yang basah atau tidak memakainya sama sekali.
“Owh kirain apaan. Ya udah tunggu sebentar, aku ke kelas dulu” Rivanti pun bergegas meninggalkan aku.
Tidak berapa lama Rivanti kembali dengan membawa celana olahraga ditangannya.
“Nih pake celana olahraga aku aja.” Sambil menyerahkan celana yang sedari tadi di pegangnya.
“Jangan Va nanti kamu ga bisa ikut pelajaran olahraga.” Aku berusaha menolaknya karena tidak ingin terjadi masalah pada Rivanti
“Ga papa Khusnul, yang penting kamu bisa masuk kelas.”
“Engga ah, nanti kamu kena hukum karena seragam olahraganya ga lengkap.”
“Cepetan ganti, apa perlu aku yang pakein celananya.” Sambil tertawa kecil dan berusaha menarik rok sekolahku.
Aku pun masuk kesalahsatu ruanganan yang ada di dalam toilet tersebut, dan berusaha secepat mungkin memakai celana yang diberikan Rivanti. Setelah itu kami pun bergegas menuju ke kelas masing-masing karena memang jam pelajaran sudah dimulai.
Selagi aku menggoreskan tinta spidol di papan tulis putih dan berusaha menyelesaikan soal Kimia yang ada disana, aku sempat melihat kearah pintu kelas yang pada saat itu terbuka hingga bisa melihat langsung ke arah halaman sekolah, berharap mendapatkan jawaban dari soal Kimia yang sedang aku kerjakan saat itu, tetapi mataku menangkap sosok yang aku kenal sedang berlari mengelilingi halaman sekolah yang cukup besar, dan biasa digunakan sebagai tempat upacara maupun pelajaran olahraga. Ternyata sosok yang sedang berlari tersebut melihat seakan tersadar bahwa dia sedang diawasi, dia menoleh kearahku sambil tersenyum dan memeletkan lidahnya, seperti anak kecil yang meledek gemas kepada orangtuanya, benar sekali itu Rivanti, aku tau dia berlari bukan karena saat itu pelajaran olahraga, tapi dia berlari karena sedang di hukum, sebab pakaian olahraganya tidak lengkap. Dalam hati aku bersyukur, makasih ya Allah sudah memberikan aku sahabat yang rela berkorban seperti Rivanti.
Hari itu memang aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah, sambil mendengarkan musik dan duduk di bawah pohon yang ada di halaman sekolah. Aku sedang menunggu kedua sahabatku keluar dari kelas masing-masing, aku ingin menyelesaikan masalah yang ada diantara mereka, karena sudah hampir satu bulan Rivanti dan Silvi tidak saling bertegur sapa maupun bicara satu sama lain. Ini membuat hatiku jengkel dan sangat marah, awalnya aku bisa menahan amarah yang ada di dada, tapi lama kelamaan aku tidak bisa menahannya dan memutuskan permasalahan mereka harus diselesaikan saat ini juga.
“Ayo Khusnul pulang bareng.” Kata Rivanti yang tanpa aku sadari sudah berdiri disamping tempat aku duduk.
“Iya Va tapi nunggu Silvi dulu ya.” Sambil menggeser tempat duduk supaya Rivanti pun bisa duduk disampingku.
“Oh aku duluan aja ya.” Rivanti belum sempat melangkahkan kakinya.
“Kalo kamu masih nganggep aku sahabat, kamu duduk sini.” Seakan bisa merasakan amarah dalam nada bicaraku, Rivanti pun langsung duduk.
Tak berapa lama Silvi terlihat keluar dari kelasnya, dengan sedikit keras aku memanggil sambil melambaikan tangan memberi tanda agar Silvi mendatangi tempat kami berdua.
“Ada apa Nul kok belom pulang?.”
“Sini, kamu duduk dulu aja.” Menepuk bangku yang ada didekatku memberi isyarat pada Silvi.
“Kalian ada masalah apa?.” Sambil menengok bergantian kearah Silvi dan Rivanti.
“Ah gue sih ga ada masalah apa-apa Nul.”
“Kalo ga ada masalah apa-apa kok kalian saling menghindar gitu.” Menatap kearah Silvi dengan raut muka kesal.
“Ya gue males aja Nul temenan ama tukang selingkuh.”
“Maksud kamu apaan?.” Ujar Rivanti yang sedari tadi diam, seakan terusik kata-kata Silvi.
“Iya loe kemaren-kemaren jalan ama si Iqbal kan.” Menatap tatapan menuduh dan meyakini apa yang dituduhkan memang benar.
“Iqbal siapa?.” Kataku sambil menunggu melihat kearah Silvi.
“Iqbal temen SD gue Nul, bulan kemaren kan gue lari pagi ama Rivanti di alun-alun.”
“Ga sengaja gue ketemu ama si Iqbal.” Lanjut Silvi meneruskan ceritanya
“Terus kok kenapa kamu musuhin Rivanti.” Akupun belum memahami sepenuhnya cerita Silvi.
“Saat itu kan Rivanti juga kenalan ama Iqbal, nah beberapa hari kemudian gue liat Rivanti boncengan motor ama Iqbal.”
“Rivanti kan udah punya pacar ngapain coba deketin Iqbal gitu, terus gue kan…” Terlihat ingin meneruskan ceritanya, sebelum akhirnya Rivanti memotong.
“Aku ga ada apa-apa sama dia kok, Iqbal itu adik nya guru les privat aku.” Menarik nafas dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.
“Jadi hari itu guru les aku ga bisa dateng ke rumah, terus dia nyuruh aku ke rumahnya, pas sampai sana ternyata Iqbal itu adiknya guru les aku.” Sambil mengatur nafas dan sesekali menghela nafas panjang.
“Pas mau pulang kebetulan Iqbal juga mau kerumah temennya yang searah sama rumah aku, jadi Iqbal ngajak aku bareng, gitu aja kok.”
“Tuh Vi kamu salah paham.” Belum sempat aku menoleh, Silvi langsung memeluk Rivanti.
“Maafin gue ya Va, bego banget udah nilai jelek sahabat gue sendiri.” Ujarnya sambil Terisak.
“Iya ga papa Vi, aku ga pernah nganggep kamu salah kok, mungkin aku aja yang ga langsung jelasin jadi kamu salah paham deh.” Sambil mengusap punggung mencoba menenangkan Silvi.
Langit pun mulai menampakan warna Jingga kemerahan dan Matahari senja seakan ikut tersenyum melihat persahabatan kami bertiga. Kami melangkah menuju gerbang sekolah yang siap untuk di kunci si penjaga sekolah.
“Vi lain kali tanyain dulu baik-baik kalau ada masalah jangan langsung emosi.” Sambil berjalan beriringan.
“Maaf deh gue langsung kesel, karena memang rencananya gue mau comblangin loe ama Iqbal.” Sambil tersenyum licik seperti penjahat-penjahat yang ada di film kartun.
“Diihh apaan, maen comblangin orang sembarangan.” Mengambil jarak menjauh dari Silvi.
“Dengerin nih, dulu kan loe pernah cerita kalo pernah suka ama cowo di pesantren yang namanya Iqbal, tapi loe malu-malu.” Silvi terus melanjutkan omongannya dengan penuh semangat.
“Nah si Iqbal abis SD ngelanjutin ke pesantren juga, dia cerita dulu suka ama cewe yang namanya Khusnul Aulia Zahrotiyah yaitu loe, tapi karena dulu di pesantren ga punya kesempetan buat ngedeketin loe, ya jadi gitu deh.”
“Hah!!! SERIUS?.” Kataku dan Rivanti yang hampir bersamaan.
“Iya beneran kok, gue juga nunjukin foto loe ke dia dan ternyata emang bener.” Sambil tersenyum menunggu reaksiku.
Apa bener dia Iqbal yang dulu aku suka?, masa sih dia tertarik cewe biasa-biasa kaya aku? ganteng, baik hati dan pinter cocok jadi imam aku nanti. Aku terbawa lamunan dan tanpa sadar tersenyum sendiri, sampai tidak menyadari sedari tadi kedua sahabatku memperhatikan
“Hayo mikir apaan, mikir jorok ama iqbal yah?.” Silvi mencubit pipiku dengan gemas.
“Yeee!!! apaan sih, enggalah” Sambil berusaha membalas mencubit pipi Silvi.
“Ya udah deketin aja Nul, nanti keduluan yang lain loh.” Rivanti pun ikut menimpali obrolan kami.
“Tau tuh ga bosen apa loe jadi JoNes menahun?.”
“Males ah, aku memang jomblo, tapi ga ngenes, kan ada kalian yang selalu bikin ketawa dan sayang sama aku tiap hari itu aja udah cukup kok, kalian My BFF yang selalu ada di hati sampai kapanpun.” Kamipun saling bergandengan tangan dan berdoa di hati masing-masing kalau persahabatan ini bisa terus berlanjut bukan hanya persahabatan masa SMA tetapi sampai seterusnya.
Ini cerita cinta segitiga aku, bukan tentang perselingkuhan ataupun penghianatan, tapi cerita persahabatan yang tulus, dari tiga sudut yang saling bertemu dan menjadikannya bentuk segitiga sempurna, penuh dengan cinta dan kasih sayang, melebihi ikatan sebagai teman, sahabat, maupun saudara karena kami adalah belahan jiwa.
Khusnul Aulia Zahrotiah, sedari lahir aku sudah menyandang nama tersebut nama yang diberikan oleh kedua orang tua ku tercinta, tentunya dengan nama seindah itu mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi wanita yang cantik, baik dan juga pintar. Mamah dan Papah maafkan anakmu yang setelah dewasa tidak bisa mewujudkan harapan kalian. Bukan salah aku kalau kecantikan yang ada semenjak lahir ternyata berhenti sampai masa balita, dan tidak berlanjut hingga saat ini aku menginjak masa SMA.
SMAN 2 Kota Serang, gedung sekolah bergaya arsitektur khas Indonesia, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon rindang, dan juga jalan menanjak yang dimulai dari gerbang berwarna hitam, sehingga membuat setiap orang sedikit terengah untuk sampai ke dalam lingkungan kelas, di Sekolah ini tempat aku menuntut ilmu. Memang aku bukan termasuk murid yang pintar, dan tentunya Kepala Sekolah tidak mungkin memilih aku sebagai perwakilan dalam lomba cerdas cermat. Papah, Mamah, maafkan anakmu ini, lagi-lagi harapan kalian memiliki anak yang pintar tidak terwujud, walaupun aku tidak pintar aku juga tidak bodoh-bodoh amat, aku masih tau kalau Cave Fish (Ikan Goa) merupakan hewan yang tidak bisa melihat, dan masih satu famili dengan Ikan Tuna yang termasuk kelompok spesies Tuna Netra.
Di sekolah aku tidak terlalu memiliki banyak teman, mempunyai dua sahabat yang sangat aku sayang, sudah sangat cukup. Aku sangat bersyukur karena terkadang memiliki banyak teman tidak lebih menyenangkan apalagi berteman hanya sebatas kenal dan sekedar basa-basi semata. Aku lebih suka memiliki hubungan pertemanan yang penuh kasih sayang, dan selalu ada di saat sedih maupun bahagia dan itu semua bisa aku dapatkan dari Rivanti dan Silvi.
“Kenalin nama gue Silvi.” Ujarnya tanpa memperdulikan orang dihapannya mau berkenalan atau tidak.
“Eh, maaf kenapa ya?.”
“Loe anak baru kan, belum punya temen di sini kan, nama gue Silvi paling seneng selfi cantik alami tanpa aplikasi, Hahaha.”
“Ia nama aku Khusnul.” Sambil terkekeh dan menyambut tangan yang sedari tadi tergantung untuk bersalaman.
“Ayo kita ke kantin biar gue traktir, itung-itung sambutan selamat datang.”
Dengan perasaan bingung dan kaget aku pun mengikuti jalannya, karena sedari bersalaman tadi Silvi langsung menarik tanganku dan digenggam dengan erat, sehingga aku tidak sempat menolak ajakannya, bukan karena aku tidak suka dengan sikapnya tapi memang saat itu aku sedang puasa Sunnah Senin-Kamis. Itulah saat pertama kali aku berkenalan dengan Silvi, yang kalau dipikir-pikir kembali kok dia bisa tau kalau aku anak baru, padahal saat itu kan kita sama-sama anak baru di SMAN 2 Kota Serang, tetapi bisa dibilang aku anak yang lebih baru dari anak baru, yang membedakan, aku tidak mengikuti proses pengenalan lingkungan sekolah atau kalau dulu sih biasa disebut OSPEK.
Aku memang tidak seperti kebanyakan murid SMAN 2 yang melanjutkan pendidikan dari jalur SMP, karena memang aku menyelesaikan tingkat menengah pertamaku di lembaga pendidikan berbasis Islami atau biasa disebut Pesantren. Memang sudah menjadi keinginan aku setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar aku ingin melanjutkannya ke Pesantren. Aku memang lahir dikeluarga yang boleh dibilang kental nuansa Islami, tetapi bukan itu alasanku memilih pesantren sebagai tujuan setelah lulus dari Sekolah Dasar. Sebenarnya aku juga tidak bisa menjawab alasan pasti kenapa aku memilih pesantren, mungkin karena seringnya aku melihat kehidupan pesantren disaat menjenguk kakakku, yang memang sudah lebih dulu bersekolah di pesantren, menimbulkan keinginanku memilih pendidikan pesantren. Wallahu a’lam.
Seperti biasa setelah bel tanda istirahat berbunyi, aku tetap duduk di bangku barisan ketiga dari depan, dengan dinding berwarna abu-abu yang apabila matahari bersinar sangat panas aku biasa menempelkan pipiku, sekedar untuk mendapatkan sensasi rasa dingin sedikit bisa mengurangi udara panas yang mengisi ruang kelasku saat ini. Teman-teman sekelas memang sudah tau kebiasaanku setiap hari Senin dan Kamis aku jarang meninggalkan kelas setelah bel istirahat berbunyi, aku tidak akan menuju ke kantin untuk memilih jajanan apa yang harus aku makan hari ini, karena aku melakukan puasa sunnah. Terkadang aku juga menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan untuk menghabiskan waktu menunggu jam pelajaran selanjutnya dimulai, memang disana lebih terasa nyaman, ruangan luas dengan jajaran buku yang tersusun rapih, dan pendingin udara yang selalu menyala seakan siap sedia memberikan rasa sejuk bagi setiap orang yang datang. Entah kenapa hari itu terasa malas sekali buat meninggalkan tempat duduk dan lebih memilih memejamkan mata dan menempelkan pipi pada dinding kelas.
“Heh Nul, mau sekalian gue bawain kasur ama bantal biar makin nyenyak tidur loe.” Akupun sedikit kaget sambil membuka mata untuk mencari tau dari mana suara itu berasal.
“Dasar kamu Vi ngagetin orang aja.”
“Lagian yang lain pada istirahat, eh ini malah tidur sendirian di kelas, ngimpiin hantu sekolah baru tau rasa loe.” Sambil memposisikan diri dan bersiap duduk di bangku yang ada disebelahku.
“Biarin aja Weekz, kalo hantunya ganteng, dan ga nyakitin aku kaya si dia mah ga papa.” Terkekeh sambil menjulurkan sedikit lidah ke Silvi.
“Yaelah dia malah curcol.” Sambil menyadarkan kepala pada tangannya yang terlipat diatas meja.
“Rivanti mana? Kok ga diajak bareng kesini.” Kembali menempelkan pipi ke dinding
Kelas.
“Mana gue tau, emang gue babysitter nya.” Ujarnya dengan nada acuh dan sedikit ada kebencian.
“Loh kok sewot gitu, emang kalian kenapa sih?.” Aku pun menunjukkan raut muka bingung dan berharap dapat penjelasan dari Silvi.
“Udahlah lagi males bahas dia, gue ikut tidur di kelas loe juga ya.” Menutup mata berpura-pura tidur.
Akupun masih melamun sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi dengan dua sahabat tersayangku, sampai bunyi bel tanda pelajaran selanjutnya dimulai menyadarkan lamunanku, orang di sebelahku pun juga bukan Silvi lagi, karena dia sudah kembali ke kelasnya sedari tadi.
Rivanti dan Silvi memang dua sahabat terdekatku, kalau boleh dibilang mereka sudah seperti saudara bagiku. Pernah suatu kali karena kegiatan yang aku lakukan pada minggu itu sangat padat, dalam rangka mempersiapkan acara HUT Indonesia di lingkungan tempatku tinggal sampai aku lupa kalau hari itu jadwal “tamu bulanan” datang.
“Aduh gawat, gimana nih.” Sambil beranjak dari tempat duduk kantin dan bergegas menuju toilet.
“Khusnul tungguin, kamu kenapa sih?.” Rivanti berlari kecil berusaha mengejar aku yang sudah hampir masuk ke dalam toilet.
“Gawat kenapa sih? Main kabur gitu aja.” Aku menangkap segurat keresahan pada wajah Rivanti.
“Hari ini jadwal aku datang bulan, dan aku lupa bawa celana ganti.” Akupun masih bingung harus bagaimana, karena tidak mungkin kembali ke kelas dengan celana dalam yang basah atau tidak memakainya sama sekali.
“Owh kirain apaan. Ya udah tunggu sebentar, aku ke kelas dulu” Rivanti pun bergegas meninggalkan aku.
Tidak berapa lama Rivanti kembali dengan membawa celana olahraga ditangannya.
“Nih pake celana olahraga aku aja.” Sambil menyerahkan celana yang sedari tadi di pegangnya.
“Jangan Va nanti kamu ga bisa ikut pelajaran olahraga.” Aku berusaha menolaknya karena tidak ingin terjadi masalah pada Rivanti
“Ga papa Khusnul, yang penting kamu bisa masuk kelas.”
“Engga ah, nanti kamu kena hukum karena seragam olahraganya ga lengkap.”
“Cepetan ganti, apa perlu aku yang pakein celananya.” Sambil tertawa kecil dan berusaha menarik rok sekolahku.
Aku pun masuk kesalahsatu ruanganan yang ada di dalam toilet tersebut, dan berusaha secepat mungkin memakai celana yang diberikan Rivanti. Setelah itu kami pun bergegas menuju ke kelas masing-masing karena memang jam pelajaran sudah dimulai.
Selagi aku menggoreskan tinta spidol di papan tulis putih dan berusaha menyelesaikan soal Kimia yang ada disana, aku sempat melihat kearah pintu kelas yang pada saat itu terbuka hingga bisa melihat langsung ke arah halaman sekolah, berharap mendapatkan jawaban dari soal Kimia yang sedang aku kerjakan saat itu, tetapi mataku menangkap sosok yang aku kenal sedang berlari mengelilingi halaman sekolah yang cukup besar, dan biasa digunakan sebagai tempat upacara maupun pelajaran olahraga. Ternyata sosok yang sedang berlari tersebut melihat seakan tersadar bahwa dia sedang diawasi, dia menoleh kearahku sambil tersenyum dan memeletkan lidahnya, seperti anak kecil yang meledek gemas kepada orangtuanya, benar sekali itu Rivanti, aku tau dia berlari bukan karena saat itu pelajaran olahraga, tapi dia berlari karena sedang di hukum, sebab pakaian olahraganya tidak lengkap. Dalam hati aku bersyukur, makasih ya Allah sudah memberikan aku sahabat yang rela berkorban seperti Rivanti.
Hari itu memang aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah, sambil mendengarkan musik dan duduk di bawah pohon yang ada di halaman sekolah. Aku sedang menunggu kedua sahabatku keluar dari kelas masing-masing, aku ingin menyelesaikan masalah yang ada diantara mereka, karena sudah hampir satu bulan Rivanti dan Silvi tidak saling bertegur sapa maupun bicara satu sama lain. Ini membuat hatiku jengkel dan sangat marah, awalnya aku bisa menahan amarah yang ada di dada, tapi lama kelamaan aku tidak bisa menahannya dan memutuskan permasalahan mereka harus diselesaikan saat ini juga.
“Ayo Khusnul pulang bareng.” Kata Rivanti yang tanpa aku sadari sudah berdiri disamping tempat aku duduk.
“Iya Va tapi nunggu Silvi dulu ya.” Sambil menggeser tempat duduk supaya Rivanti pun bisa duduk disampingku.
“Oh aku duluan aja ya.” Rivanti belum sempat melangkahkan kakinya.
“Kalo kamu masih nganggep aku sahabat, kamu duduk sini.” Seakan bisa merasakan amarah dalam nada bicaraku, Rivanti pun langsung duduk.
Tak berapa lama Silvi terlihat keluar dari kelasnya, dengan sedikit keras aku memanggil sambil melambaikan tangan memberi tanda agar Silvi mendatangi tempat kami berdua.
“Ada apa Nul kok belom pulang?.”
“Sini, kamu duduk dulu aja.” Menepuk bangku yang ada didekatku memberi isyarat pada Silvi.
“Kalian ada masalah apa?.” Sambil menengok bergantian kearah Silvi dan Rivanti.
“Ah gue sih ga ada masalah apa-apa Nul.”
“Kalo ga ada masalah apa-apa kok kalian saling menghindar gitu.” Menatap kearah Silvi dengan raut muka kesal.
“Ya gue males aja Nul temenan ama tukang selingkuh.”
“Maksud kamu apaan?.” Ujar Rivanti yang sedari tadi diam, seakan terusik kata-kata Silvi.
“Iya loe kemaren-kemaren jalan ama si Iqbal kan.” Menatap tatapan menuduh dan meyakini apa yang dituduhkan memang benar.
“Iqbal siapa?.” Kataku sambil menunggu melihat kearah Silvi.
“Iqbal temen SD gue Nul, bulan kemaren kan gue lari pagi ama Rivanti di alun-alun.”
“Ga sengaja gue ketemu ama si Iqbal.” Lanjut Silvi meneruskan ceritanya
“Terus kok kenapa kamu musuhin Rivanti.” Akupun belum memahami sepenuhnya cerita Silvi.
“Saat itu kan Rivanti juga kenalan ama Iqbal, nah beberapa hari kemudian gue liat Rivanti boncengan motor ama Iqbal.”
“Rivanti kan udah punya pacar ngapain coba deketin Iqbal gitu, terus gue kan…” Terlihat ingin meneruskan ceritanya, sebelum akhirnya Rivanti memotong.
“Aku ga ada apa-apa sama dia kok, Iqbal itu adik nya guru les privat aku.” Menarik nafas dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.
“Jadi hari itu guru les aku ga bisa dateng ke rumah, terus dia nyuruh aku ke rumahnya, pas sampai sana ternyata Iqbal itu adiknya guru les aku.” Sambil mengatur nafas dan sesekali menghela nafas panjang.
“Pas mau pulang kebetulan Iqbal juga mau kerumah temennya yang searah sama rumah aku, jadi Iqbal ngajak aku bareng, gitu aja kok.”
“Tuh Vi kamu salah paham.” Belum sempat aku menoleh, Silvi langsung memeluk Rivanti.
“Maafin gue ya Va, bego banget udah nilai jelek sahabat gue sendiri.” Ujarnya sambil Terisak.
“Iya ga papa Vi, aku ga pernah nganggep kamu salah kok, mungkin aku aja yang ga langsung jelasin jadi kamu salah paham deh.” Sambil mengusap punggung mencoba menenangkan Silvi.
Langit pun mulai menampakan warna Jingga kemerahan dan Matahari senja seakan ikut tersenyum melihat persahabatan kami bertiga. Kami melangkah menuju gerbang sekolah yang siap untuk di kunci si penjaga sekolah.
“Vi lain kali tanyain dulu baik-baik kalau ada masalah jangan langsung emosi.” Sambil berjalan beriringan.
“Maaf deh gue langsung kesel, karena memang rencananya gue mau comblangin loe ama Iqbal.” Sambil tersenyum licik seperti penjahat-penjahat yang ada di film kartun.
“Diihh apaan, maen comblangin orang sembarangan.” Mengambil jarak menjauh dari Silvi.
“Dengerin nih, dulu kan loe pernah cerita kalo pernah suka ama cowo di pesantren yang namanya Iqbal, tapi loe malu-malu.” Silvi terus melanjutkan omongannya dengan penuh semangat.
“Nah si Iqbal abis SD ngelanjutin ke pesantren juga, dia cerita dulu suka ama cewe yang namanya Khusnul Aulia Zahrotiyah yaitu loe, tapi karena dulu di pesantren ga punya kesempetan buat ngedeketin loe, ya jadi gitu deh.”
“Hah!!! SERIUS?.” Kataku dan Rivanti yang hampir bersamaan.
“Iya beneran kok, gue juga nunjukin foto loe ke dia dan ternyata emang bener.” Sambil tersenyum menunggu reaksiku.
Apa bener dia Iqbal yang dulu aku suka?, masa sih dia tertarik cewe biasa-biasa kaya aku? ganteng, baik hati dan pinter cocok jadi imam aku nanti. Aku terbawa lamunan dan tanpa sadar tersenyum sendiri, sampai tidak menyadari sedari tadi kedua sahabatku memperhatikan
“Hayo mikir apaan, mikir jorok ama iqbal yah?.” Silvi mencubit pipiku dengan gemas.
“Yeee!!! apaan sih, enggalah” Sambil berusaha membalas mencubit pipi Silvi.
“Ya udah deketin aja Nul, nanti keduluan yang lain loh.” Rivanti pun ikut menimpali obrolan kami.
“Tau tuh ga bosen apa loe jadi JoNes menahun?.”
“Males ah, aku memang jomblo, tapi ga ngenes, kan ada kalian yang selalu bikin ketawa dan sayang sama aku tiap hari itu aja udah cukup kok, kalian My BFF yang selalu ada di hati sampai kapanpun.” Kamipun saling bergandengan tangan dan berdoa di hati masing-masing kalau persahabatan ini bisa terus berlanjut bukan hanya persahabatan masa SMA tetapi sampai seterusnya.
Ini cerita cinta segitiga aku, bukan tentang perselingkuhan ataupun penghianatan, tapi cerita persahabatan yang tulus, dari tiga sudut yang saling bertemu dan menjadikannya bentuk segitiga sempurna, penuh dengan cinta dan kasih sayang, melebihi ikatan sebagai teman, sahabat, maupun saudara karena kami adalah belahan jiwa.